Bambang memandangi wajah ayu isterinya yang masih tampak terlelap. Pelan-pelan sekali diusapnya pipi isterinya itu. "Kowe kok ayu buangeti to", batinnya. Dirapikannya selimut yang tampak agak berserakan. Hujan yang agak deras dimalam itu memang membuat hawa tambah dingin saja. Aneh memang. Bulan ini harusnya sudah masuk musim kemarau, tapi kok tetep saja hujan. Ya, musim memang susah ditebak belakangan ini. Tidak ada aturan yang jelas tentang pembagian musim seperti jaman pelajaran SD kelas empat dulu. Tapi hujan pun juga tidak apa sebenarnya. Hujan itu berkah. Hujan, yang dalam bahasa jawa ditranslate-kan jawah yang diambil dari bahasa Arab Ja'a Rahmatullah yang artinya telah tiba rahmat dari Allah. Berartikan hujan itu rahmat, berartikan hanya orangorang yang tidak tahu diri yang menolak dan mempermasalahkan rahmat dari Alloh.
Bambang masih saja belum beranjak. Dia tibatiba anteng. Semenit kemudian dia pergi ke dapur. Bikin kopi. Tampaknya dia masih sayang untuk tidur atau melewatkan hujan yang ndilalah turun? Sebenarnya banyak kisahkisah leluhur yang mengagungagungkan hujan. Yang menganggap bahwa hujan itu adalah tangisan malaikat atas apa yang telah dilakukan manusia di bumi. Ada juga kaum galauers yang menganggap hujan adalah turunan inspirasi untuk menjawab kegundahan hati mereka.
Dan sampai sekarang hujan masih saja turun. Tambah deras.
Ditentengnya secangkir kopi hitam merek Kapal Tanker kedalam kamar. Bambang duduk diantara dipan tempat isterinya tidur dan jendela kamar. Dibukanya laci meja duduknya. Sambil menyeruput kopi hitamnya, dia membolak balik album foto yang dia temukan. Nampak foto-foto masa kawinnya dengan Eni puluhan tahun silam yang masih terjaga dengan rapi. Maklum, foto kualitas DSLR lebih mumpuni daripada tustel biasa yang jika tombol kecil dibawah kamera dipencet maka foto yang sudah diambil akan hangus semua. Namanya juga teknologi. Perkembangannya tak terbatas, beda dengan perkembangan penduduk yang ditekan dengan sistem KB.
Di foto itu nampak Eni menggunakan baju atasan lengan panjang, rok panjang coklat tua dan jilbab coklat tua. Dikedua tangannya nampak tato kontermporer dengan heena warna coklat pula gambar mawar putih dan tangkai-tangkainya. Wajahnya yang sedang tersenyum membusungkan lesung pipi kana-kirinya. Satulagi, merah senyum pipinya tidak tertutupi bedak sedikitpun. Natural. Ya, cantik itu natural.
Bambang nampak tersenyum. Baginya Eni adalah gadis impiannya. Lha setiap hari di impikan kok. Dan mungkin alasan dia tetap terjaga dan menolak tidur itu karena takut memimpikan si Eni: dia ingin memandangnya secara nyata.
Angannya membumbung, seperti elektabilitas si penjual handbody itu yang dibombong media. Belakangan harga handbody memang diobral. Murah sekali. Setiap saat di tampakkan. Citra.
Bambang kembali tersenyum. Di luar jendela sana tampak sosok seorang wanita yang serba biasa saja. Memakai payung warna ungu berjalan sendirian. Ditangannya membawa sebuah tipe-x warna merah. Bambang menyebutnya gadis pembawa tipe-x. Gadis itu masih saja berjalan, entah mencari apa. Jodoh mungkin?
Tidak tahu. Apapun yang dilakukannya Bambang tidak perduli. Dia hanya mengagumi parasnya. Cara berjalannya. Cara menenteng tipe-x nya.
Gadis itu seperti yang didambakan Bambang. Sempurna. Tidak ada make up. Dan dari jauh pun sinarsinar paras ayunya memancar seolaholah membentuk pelangi di malam hari.
Bambang terperangah dan terdiam. Diseruputnya lagi kopi hitam yang tinggal setengah. Dan gadis diluar jendela itupun perlahan memudar, bersamaan dengan hujan yang mulai reda. Album foto itu dikembalikan lagi ke laci mejanya. Sembari menenteng gelas kopinya kembali ke dapur, di liriknya sekali lagi wajah Eni yang masih terlelap manis. Gadis pembawa tipe-x.
Lembayung
26 Juni 2014
10.15 am
0 comments:
Post a Comment