Aku melihatmu.
Dan kamu melihatku.
Aku tersenyum.
Tapi kamu hanya tersipu, sambil membenarkan tudung cokelatmu.
Dalam hati, aku bertanya apakah kamu malu?
Waktu itu adalah sore hari. Sesuai dengan janji, jam empat sore aku
menjemputmu ditempat biasa. Aku masih saja heran kenapa kamu lebih menyukai
janjian dan bertemu di tempat itu. Kenapa tidak ditempat yang lebih pantas
seperti parkiran asrama, mungkin?
Pernah terbesit ketika aku mengantar buku panduan tes bahasa waktu
itu. Hampir setengah jam aku telat, dan kamu masih saja menunggu disana:
berdiri disamping gapura usang yang agak menjulang, didepan sebuah rumah sakit
yang tidak hentinya melakukan renovasi. Hanya seorang diri.
Tapi sudahlah, yang paling penting adalah hari ini, sore ini.
Aku melihatmu.
Dan kamu melihatku.
Aku langsung saja menghampirimu yang sudah menunggu disana.
***
Hari itu kita bersepakat untuk pergi ke sebuah warung kopi. Itu
adalah salah satu konsekuensi yang kita bikin seminggu sebelumya.
Ya, seminggu lalu dikelas aku bertanya padamu:
“Jam berapa sekarang?”
Lalu kau menjawab bahwa sekarang jam 9.30
Dan aku bertanya tentang arti 9.30.
Aku beranggapan bahwa anak matematika sepertimu akan mudah untuk
memberi tafsir tentang angka, seperti dalam kelas matematika kesepakatan. Tapi
kamu menyerah.
Lalu aku menafsir sekenanya:
Sembilan adalah angka tertinggi dalam satuan, yang berarti pencapaian
tertinggi dari seseorang. Bukankah kita selalu meminta untuk menjadi yang
terbaik? Bukankah kita memimpikan posisi yang tinggi dalam segala hal? Dan
tidak ada lagi angka satuan setelah sembilan.
Tiga adalah pilar dalam jalan menuju pada sembilan; pada tempat
yang tertinggi.
Tiga pilar adalah harapan, usaha, dan realita. Ketiganya haruslah
berada dalam jalan yang sama, yang berujung pada keberhasilan menuju ke
sembilan; ke tempat yang tertinggi.
Lalu nol adalah lambang ketidakterbatasan. Bukankah dalam
matematika berapapun yang dibagi nol adalah tak terhingga? Maka nol mengajarkan
tentang semangat yang tak terhingga, untuk mencapai sembilan; tempat tertinggi.
Kamu tampak terpaku waktu itu. Dan menawariku sebuah tawaran
traktir.
Dan aku memilih sebuah warung kopi sebagai tempat balas budi.
Tapi sudahlah, yang paling penting adalah hari ini.
Aku melihatmu.
Dan kamu melihatku.
Lalu kita menuju tempat yang sudah kita sepakati.
***
Warung kopi yang kita tuju adalah sebuah warung kecil di batas
kota. Suasana disini enak, dengan desain serba kayu yang dicampur lampu remang.
Sebuah altar tersedia didepan. Memutar, membentuk sebuah panggung
kecil dengan hiasan kerlip lampu merah hijau. Entah apa namanya jenis lampu
seperti itu.
Altar itu dipakai untuk tempat pembacaan puisi bagi pengunjung
setiap hari Kamis. Hari itu.
Kita duduk di pojok sebelah timur, tepat disamping altar.
Tampak beberapa pengunjung silih berganti naik diatas altar.
Membacakan puisi yang terkadang membuat pengunjung lain bertepuk tangan. Lalu
kita sama melihat seorang wanita yang membaca puisi. Kau nampak tertegun
melihatnya. Tapi aku tersenyum.
Aku melihatmu.
Lantas kita membincang tentang beberapa bahasan acak: tentang tugas
kuliah, tentang keanehan kodok yang memiliki ekor pada masa kecil tapi hilang
ketika besar. Juga tentang fungsi hukum yang ketika diterapkan malah melanggar
HAM. Kamu pun tampak keheranan.
Lalu aku berujar tentang puisi, dan kau pun tertarik. Sejenak, kau
melirik
“bagaimana jika kau membaca puisi, untukku?”, katamu lirih.
Aku terdiam. Mengangguk tanda setuju.
Kemudian aku beranjak, menuju ke altar setelah wanita tadi berpindah
kembali.
“untukmu”, kataku. “wanita bermata sayu, dengarlah sajak selaksa
kata, selinting rasa dalam biru”
: deras hujan diluar mencipta bayang,
yang mendera asa, memutar memori lalu.
entah,
masih saja
bayang yang hadir
selalu sama, bayangmu, wanitaku.
waktu
bergulir, merangkai kisah yang terukir
pada segerimis
tercecah; pada rona pipi tersembul memerah.
ingin
ku bahasakan, seuntai rasa mendekap kalbu
lewat sajak;
dengan harap yang terlanjur banyak.
dengarlah,
untukmu
wanitaku,
mau kah kau
berpura-pura?
berpura mencintaiku
sekali saja
wanitaku,
mau kah kau
berpura-pura?
berpura
mendampingiku
sekali saja
mewarna temaram
dalam langit gulita
menyejuk asa
dengan mimpi yang baru
meski kau hanya
pura-pura
kan ku berikan cintaku
sebukit bukit untukmu;
seperti sejuk hujan yang menahan kita tak beranjak
dengan
sebenarnya
kan ku berikan permai
yang mendera jiwa
tiada terperi:
seluas samudera
sehingga kau pun lupa
pada akhirnya
jika kau sedang
berpura-pura
***
Hujan masih turun dengan cukup deras, tetapi altar itu sepi. Aku
melihat jam. Pukul 9.30.
Cukup lama aku berdiam disini, dipojok timur warung kopi, tepat
disamping altar.
Kuteguk secangkir kopi yang tinggal ampas, disamping fotomu dan
selembar puisi yang sedang kuhapal.
Aku tersenyum.
Aku melihatmu.
0 comments:
Post a Comment