Sunday, August 10, 2014

Fenomena Jilboobs dan Semangat Feminisme

Ehem.. postingan kali ini mungkin agak berbeda dari biasanya. Si calon writer pengen sesuatu yang sedikit beda, setidaknya bergeser sedikit dari aroma-aroma puisi atau seumpama cerpen tentang cinta. Putus asa kah? Tentu saja tidak. Si calon writer berkeyakinan bahwa pilihan itu adalah sesuatu yang harus diperjuangkan. Kenapa seperti itu? Karena memilih adalah proses yang panjang: membandinding-bandingakan beberapa pilihan yang sebelumnya pun diseleksi. Nah patut disayangkan jika kita memilih sebuah pilihan hanya untuk dilupakan. :)

Si calon writer agak terusik sih sebenarnya dengan fenomena yang sedang naik daun dikalangan para hijabers (bukan jilbabers) setidaknya yang muncul dalam beberapa bulan terakhir. Yap, fenomena Jilboobs. Mungkin banyak yang sudah tau tentang fenomena ini jauh sebelum si calon writer mengetahuinya (maklum, di posko kkn susah sinyal internet dan sebelumnya juga si calon writer gak begitu 'ngurusi' masalah seperti ini..cuma akhir-akhir ini agak tergelitik).

Seperti yang sudah banyak dibicarakan bahwa Jilboobs adalah fenomena dimana wanita memakai hijab dikepala tapi 'lupa berhijab' di bagian lainnya. Hijab berbeda dengan Jilbab. Hijab adalah penutup: bisa tirai, sarung atauapalah yang fungsinya adalah menutupi. Sedangkan Jilbab adalah pakaian longgar yang berfungsi menutupi aurat. Ya, seorang yang sudah dewasa pasti sudah tau mana-sih aurat perempuan ;).

Lalu, salahkan para hijabers? Terlalu sombong jika si calon writer men-judge mereka bersalah. Si calon writer hanya merasa miris dengan fenomena Jilboobs tadi. Okey, khusnudzan aja.. mungkin hijabers adalah langkah awal menuju jilbabers. Sungguh, si calon writer berkeyakinan bahwa wanita akan lebih anggun ketika memakai setidaknya rok dan tertutup auratnya^^

Back to the main topic: Jilboobs. Jilboobs yang merupakan spesies baru berhijab adalah simbol kemenangan. Hijab pun sebenarnya adalah simbol kemenangan kapitalis, setidaknya orang-orang 'pasar'. Kenapa? Karena mereka berhasil menggeser fungsi 'penutup' yang sebenarnya. Ya, sebagai pengetahuan awal adalah jilbab itu fungsinya ya penutup, yang menutupi aurat tadi. Akan tetapi, kini fungsinya bergeser menjadi fashion. Dulu si calon writer pernah membaca sebuah tulisan gimana harga jilbab yang besar, tebal dan kuno sangat mahal sedangkan harga hijab yang tipis, easy-wearing, berwarna, bermotif dan modern lebih dari selisih perbedaannya. Bisa disimpulkan bahwa yang seperti itu adalah salah satu contoh untuk mengarahkan si konsumen memilih pilihan kedua tadi. Fakta, masyarakat Indonesia memang mendambakan apa-apa yang murah tapi bagus. Lebih nge-jleb lagi: bekas pun gak papa. hehehe

Nah, dari awalnya yang seperti itu selanjutnya ada perkembangan-perkembangan ke berbagai arah. Mulai dari diciptakannya motif-motif baru sampai bentuk hijab ngluwer-ngluwer sedemikian rupa yang semuanya mengarah kepada satu tujuan: fashion. Tidak bisa dicegah memang, perkembangan tersebut juga mengarah kepada hal yang negatif. Perempuan cenderung mencari model-model yang bagus untuk menghijabi kepala mereka, akan tetapi seperti yang sudah ditulis diatas, mereka lupa menghijabi bagian lainnya. Miris.

Ketika si perempuan ditanya kenapa memakai hijab yang seperti itu? Bisa dipastikan jawaban mereka akan beragam: fashion laah, biar gak ketinggalan mode laah dan yang paling menggelitik adalah kebebasan. Isu kebebasan adalah isu yang harus sangat disoroti, terutama jika menyangkut masalah gender. Oke, memang kita atau secara lebih khusus tidak bisa mengatur mereka tetapi apakah kebebasan yang seperti itu bisa dianggap biasa saja? Menurut si calon writer kok tidak yaa..

Wanita, dalam bahasa Jawa berasal dari dua suku kata, yaitu wani dan ditata yang berarti berani ditata/diatur. Sementara ada pepatah mengatakan bahwa 'dibalik pria yang sukses, terdapat wanita dibelakangnya'. Bisa diartikan bahwa fungsi wanita adalah sebagai supporter kaum pria. Si calon writer bukan ingin merendahkan kedudukan wanita, hanya menyampaikan sedikit pendapat analisis asal tentang kedudukan asli wanita..bukan juga si calon writer merasa lebih baik dari si wanita itu. sekali lagi, interpretasi. :)
Lalu, salahkah jika wanita menginginkan kebebasan? Tentu saja tidak. Akan tetapi pasti ada tanda bimtangnya atau ketentuan khusus. Dalam masyarakat Jawa terdapat pepatah yang sangat melegenda: bahwa 'wong wedok kui gaweane macak, masak, karo manak' dan 'panggonane wong wedok kui dapur, sumur, karo kasur'. Sesungguhnya, kedua ungkapan tadi bukanlah alasan pembatasan gerak si wanita tadi. Akan tetapi menggariskan tugas utama si wanita tersebut. Ya, wanita boleh kok berekspresi akan tetapi seharusnya tidak melupakan 'tugas asal' mereka.

Agak menggelitik lagi memang, sebenarnya kebebasan bahkan kesetaraan apa toh yang wanita inginkan? Padahal, pria itu memuliakan wanita loh, bahkan sejak dulu kala. Dalam novel The Davinci Code dikatakan bahwa Mona Lisa adalah simbol kesetaraan pria dan wanita. Mona Lisa berasal dari anagram Amon yang mewakili laki-laki dan Elisa yang mewakili perempuan. Dan lukisan Mona Lisa itu tersenyum. Mungkin bisa dianalisis bahwa ketika pria dan wanita itu dengan besar hati mengakui 'kesetaraannya' akan menghasilkan sesuatu yang membahagiakan, yang digambarkan dengan senyuman. Selain itu, dalam Islam dijelaskan bahwa ketiga Rasul ditanya siapa yang pantas dihormati, Beliau mengatakan Ibu sebanyak tiga kali. Ibu = wanita, yang dihargai karena peranannya.

Dan semangat feminisme, yang didenggung-kan sebagai salah satu kampanye menyetarakan kedudukan wanita dengan pria sepertinya kok tidak relevan jika diturut-turut serba serbinya. Malah, bukannya malah (lagi) gak enak ya kalo setara: bahwa wanita harus kerja keras, ikut ronda, gak papa tidur diluar, dll. Mungkin ada yang bilang bahwa kesetaraan yang dimaksud adalah ketersediaan pendidikan, kesehatan atau pekerjaan dengan pria. Bukankah para wanita itu sudah mendapatkannya?

Yang sekali lagi menggelitik si calon writer adalah.. kesetaraan yang diperjuangkan adalah pelampiasan ego yang terpendam dari si wanita. Coba sekarang ditanya, dengan segala sesuatu yang sudah didapatkan sekarang, maukah kalian sebagai wanita, 'berkorban' seperti pria? Seharusnya ketika belanja gak perlu tuh minta tolong dibawain karena mereka kan 'setara'. Piye?
Terus, ketika ada sesuatu.. misalnya apaaa gitu seharusnya mereka gak perlu bilang..'Udaah, kamu dulu aja. Kamu kan cowok' karena mereka kan 'setara'..

Lalu apa hubungan Jilboobs sama feminisme? Analisa si calon writer: bahwa dengan mengatasnamakan kebebasan dari kesetaraan yang 'didapatkan' si wanita Jilboobs berasumsi bebas berekspresi cross culture, cross apa saja, karena mereka bebas, karena mereka setara dan tidak ada yang berhak mengatur: siapa kamu?

Si calon writer menggaris bawahi lagi bahwa: sebenarnya tanpa diperjuangkan pun posisi wanita dan pria itu adalah setara, tentu saja dengan koridor-koridor masing-masing. Dan yang terpenting, fenomena Jilboobs tentu tidak perlu ada jika wanita berbesar hati untuk 'semacam menerima' keadaan yang memantaskan mereka..berbesar hati bahwa fungsi utama jilbab bukanlah fashion semata..berbesar hati bahwa pembatasan-pembatasan yang 'dialamatkan kepada pria' adalah salah satu ekspresi kasih sayang mereka. Ketika sejatinya pria sangat menghargai dan memuliakan wanita, mengapa justeru si wanita 'merendahkan' dirinya sendiri dengan ber-jilboobs?

_shiro
kg. 10/08/14
22.24

0 comments:

Post a Comment