Friday, April 10, 2015

HOPE



Aku melihatmu.
Dan kamu melihatku.

Aku tersenyum.
Tapi kamu hanya tersipu, sambil membenarkan tudung cokelatmu.
Dalam hati, aku bertanya apakah kamu malu?

Waktu itu adalah sore hari. Sesuai dengan janji, jam empat sore aku menjemputmu ditempat biasa. Aku masih saja heran kenapa kamu lebih menyukai janjian dan bertemu di tempat itu. Kenapa tidak ditempat yang lebih pantas seperti parkiran asrama, mungkin?
Pernah terbesit ketika aku mengantar buku panduan tes bahasa waktu itu. Hampir setengah jam aku telat, dan kamu masih saja menunggu disana: berdiri disamping gapura usang yang agak menjulang, didepan sebuah rumah sakit yang tidak hentinya melakukan renovasi. Hanya seorang diri.
Tapi sudahlah, yang paling penting adalah hari ini, sore ini.

Aku melihatmu.
Dan kamu melihatku.

Aku langsung saja menghampirimu yang sudah menunggu disana.
***
Hari itu kita bersepakat untuk pergi ke sebuah warung kopi. Itu adalah salah satu konsekuensi yang kita bikin seminggu sebelumya. 

Ya, seminggu lalu dikelas aku bertanya padamu:
“Jam berapa sekarang?”
Lalu kau menjawab bahwa sekarang jam 9.30
Dan aku bertanya tentang arti 9.30. 

Aku beranggapan bahwa anak matematika sepertimu akan mudah untuk memberi tafsir tentang angka, seperti dalam kelas matematika kesepakatan. Tapi kamu menyerah.

Lalu aku menafsir sekenanya:

Sembilan adalah angka tertinggi dalam satuan, yang berarti pencapaian tertinggi dari seseorang. Bukankah kita selalu meminta untuk menjadi yang terbaik? Bukankah kita memimpikan posisi yang tinggi dalam segala hal? Dan tidak ada lagi angka satuan setelah sembilan.

Tiga adalah pilar dalam jalan menuju pada sembilan; pada tempat yang tertinggi.
Tiga pilar adalah harapan, usaha, dan realita. Ketiganya haruslah berada dalam jalan yang sama, yang berujung pada keberhasilan menuju ke sembilan; ke tempat yang tertinggi.

Lalu nol adalah lambang ketidakterbatasan. Bukankah dalam matematika berapapun yang dibagi nol adalah tak terhingga? Maka nol mengajarkan tentang semangat yang tak terhingga, untuk mencapai sembilan; tempat tertinggi.

Kamu tampak terpaku waktu itu. Dan menawariku sebuah tawaran traktir.
Dan aku memilih sebuah warung kopi sebagai tempat balas budi.
Tapi sudahlah, yang paling penting adalah hari ini.

Aku melihatmu.
Dan kamu melihatku.
Lalu kita menuju tempat yang sudah kita sepakati.
***
Warung kopi yang kita tuju adalah sebuah warung kecil di batas kota. Suasana disini enak, dengan desain serba kayu yang dicampur lampu remang.
Sebuah altar tersedia didepan. Memutar, membentuk sebuah panggung kecil dengan hiasan kerlip lampu merah hijau. Entah apa namanya jenis lampu seperti itu.
Altar itu dipakai untuk tempat pembacaan puisi bagi pengunjung setiap hari Kamis. Hari itu.
Kita duduk di pojok sebelah timur, tepat disamping altar.
Tampak beberapa pengunjung silih berganti naik diatas altar. Membacakan puisi yang terkadang membuat pengunjung lain bertepuk tangan. Lalu kita sama melihat seorang wanita yang membaca puisi. Kau nampak tertegun melihatnya. Tapi aku tersenyum.
Aku melihatmu.

Lantas kita membincang tentang beberapa bahasan acak: tentang tugas kuliah, tentang keanehan kodok yang memiliki ekor pada masa kecil tapi hilang ketika besar. Juga tentang fungsi hukum yang ketika diterapkan malah melanggar HAM. Kamu pun tampak keheranan.

Lalu aku berujar tentang puisi, dan kau pun tertarik. Sejenak, kau melirik
“bagaimana jika kau membaca puisi, untukku?”, katamu lirih.
Aku terdiam. Mengangguk tanda setuju.

Kemudian aku beranjak, menuju ke altar setelah wanita tadi berpindah kembali.
“untukmu”, kataku. “wanita bermata sayu, dengarlah sajak selaksa kata, selinting rasa dalam biru”

            :           deras hujan diluar mencipta bayang,
             yang mendera asa, memutar memori lalu.
                        entah, masih saja
            bayang yang hadir selalu sama, bayangmu, wanitaku.
                        waktu bergulir, merangkai kisah yang terukir
            pada segerimis tercecah; pada rona pipi tersembul memerah.
                        ingin ku bahasakan, seuntai rasa mendekap kalbu
            lewat sajak; dengan harap yang terlanjur banyak.

dengarlah, untukmu
wanitaku,
mau kah kau berpura-pura?
berpura mencintaiku
sekali saja

wanitaku,
mau kah kau berpura-pura?
berpura mendampingiku
sekali saja

mewarna temaram dalam langit gulita
menyejuk asa dengan mimpi yang baru
meski kau hanya pura-pura

kan ku berikan cintaku
sebukit bukit untukmu; seperti sejuk hujan yang menahan kita tak beranjak
dengan sebenarnya

kan ku berikan permai yang mendera jiwa
tiada terperi:
seluas samudera

sehingga kau pun lupa
pada akhirnya
jika kau sedang berpura-pura
 ***
Hujan masih turun dengan cukup deras, tetapi altar itu sepi. Aku melihat jam. Pukul 9.30.
Cukup lama aku berdiam disini, dipojok timur warung kopi, tepat disamping altar.
Kuteguk secangkir kopi yang tinggal ampas, disamping fotomu dan selembar puisi yang sedang kuhapal.
Aku tersenyum.
Aku melihatmu.

Sunday, August 10, 2014

Fenomena Jilboobs dan Semangat Feminisme

Ehem.. postingan kali ini mungkin agak berbeda dari biasanya. Si calon writer pengen sesuatu yang sedikit beda, setidaknya bergeser sedikit dari aroma-aroma puisi atau seumpama cerpen tentang cinta. Putus asa kah? Tentu saja tidak. Si calon writer berkeyakinan bahwa pilihan itu adalah sesuatu yang harus diperjuangkan. Kenapa seperti itu? Karena memilih adalah proses yang panjang: membandinding-bandingakan beberapa pilihan yang sebelumnya pun diseleksi. Nah patut disayangkan jika kita memilih sebuah pilihan hanya untuk dilupakan. :)

Si calon writer agak terusik sih sebenarnya dengan fenomena yang sedang naik daun dikalangan para hijabers (bukan jilbabers) setidaknya yang muncul dalam beberapa bulan terakhir. Yap, fenomena Jilboobs. Mungkin banyak yang sudah tau tentang fenomena ini jauh sebelum si calon writer mengetahuinya (maklum, di posko kkn susah sinyal internet dan sebelumnya juga si calon writer gak begitu 'ngurusi' masalah seperti ini..cuma akhir-akhir ini agak tergelitik).

Seperti yang sudah banyak dibicarakan bahwa Jilboobs adalah fenomena dimana wanita memakai hijab dikepala tapi 'lupa berhijab' di bagian lainnya. Hijab berbeda dengan Jilbab. Hijab adalah penutup: bisa tirai, sarung atauapalah yang fungsinya adalah menutupi. Sedangkan Jilbab adalah pakaian longgar yang berfungsi menutupi aurat. Ya, seorang yang sudah dewasa pasti sudah tau mana-sih aurat perempuan ;).

Lalu, salahkan para hijabers? Terlalu sombong jika si calon writer men-judge mereka bersalah. Si calon writer hanya merasa miris dengan fenomena Jilboobs tadi. Okey, khusnudzan aja.. mungkin hijabers adalah langkah awal menuju jilbabers. Sungguh, si calon writer berkeyakinan bahwa wanita akan lebih anggun ketika memakai setidaknya rok dan tertutup auratnya^^

Back to the main topic: Jilboobs. Jilboobs yang merupakan spesies baru berhijab adalah simbol kemenangan. Hijab pun sebenarnya adalah simbol kemenangan kapitalis, setidaknya orang-orang 'pasar'. Kenapa? Karena mereka berhasil menggeser fungsi 'penutup' yang sebenarnya. Ya, sebagai pengetahuan awal adalah jilbab itu fungsinya ya penutup, yang menutupi aurat tadi. Akan tetapi, kini fungsinya bergeser menjadi fashion. Dulu si calon writer pernah membaca sebuah tulisan gimana harga jilbab yang besar, tebal dan kuno sangat mahal sedangkan harga hijab yang tipis, easy-wearing, berwarna, bermotif dan modern lebih dari selisih perbedaannya. Bisa disimpulkan bahwa yang seperti itu adalah salah satu contoh untuk mengarahkan si konsumen memilih pilihan kedua tadi. Fakta, masyarakat Indonesia memang mendambakan apa-apa yang murah tapi bagus. Lebih nge-jleb lagi: bekas pun gak papa. hehehe

Nah, dari awalnya yang seperti itu selanjutnya ada perkembangan-perkembangan ke berbagai arah. Mulai dari diciptakannya motif-motif baru sampai bentuk hijab ngluwer-ngluwer sedemikian rupa yang semuanya mengarah kepada satu tujuan: fashion. Tidak bisa dicegah memang, perkembangan tersebut juga mengarah kepada hal yang negatif. Perempuan cenderung mencari model-model yang bagus untuk menghijabi kepala mereka, akan tetapi seperti yang sudah ditulis diatas, mereka lupa menghijabi bagian lainnya. Miris.

Ketika si perempuan ditanya kenapa memakai hijab yang seperti itu? Bisa dipastikan jawaban mereka akan beragam: fashion laah, biar gak ketinggalan mode laah dan yang paling menggelitik adalah kebebasan. Isu kebebasan adalah isu yang harus sangat disoroti, terutama jika menyangkut masalah gender. Oke, memang kita atau secara lebih khusus tidak bisa mengatur mereka tetapi apakah kebebasan yang seperti itu bisa dianggap biasa saja? Menurut si calon writer kok tidak yaa..

Wanita, dalam bahasa Jawa berasal dari dua suku kata, yaitu wani dan ditata yang berarti berani ditata/diatur. Sementara ada pepatah mengatakan bahwa 'dibalik pria yang sukses, terdapat wanita dibelakangnya'. Bisa diartikan bahwa fungsi wanita adalah sebagai supporter kaum pria. Si calon writer bukan ingin merendahkan kedudukan wanita, hanya menyampaikan sedikit pendapat analisis asal tentang kedudukan asli wanita..bukan juga si calon writer merasa lebih baik dari si wanita itu. sekali lagi, interpretasi. :)
Lalu, salahkah jika wanita menginginkan kebebasan? Tentu saja tidak. Akan tetapi pasti ada tanda bimtangnya atau ketentuan khusus. Dalam masyarakat Jawa terdapat pepatah yang sangat melegenda: bahwa 'wong wedok kui gaweane macak, masak, karo manak' dan 'panggonane wong wedok kui dapur, sumur, karo kasur'. Sesungguhnya, kedua ungkapan tadi bukanlah alasan pembatasan gerak si wanita tadi. Akan tetapi menggariskan tugas utama si wanita tersebut. Ya, wanita boleh kok berekspresi akan tetapi seharusnya tidak melupakan 'tugas asal' mereka.

Agak menggelitik lagi memang, sebenarnya kebebasan bahkan kesetaraan apa toh yang wanita inginkan? Padahal, pria itu memuliakan wanita loh, bahkan sejak dulu kala. Dalam novel The Davinci Code dikatakan bahwa Mona Lisa adalah simbol kesetaraan pria dan wanita. Mona Lisa berasal dari anagram Amon yang mewakili laki-laki dan Elisa yang mewakili perempuan. Dan lukisan Mona Lisa itu tersenyum. Mungkin bisa dianalisis bahwa ketika pria dan wanita itu dengan besar hati mengakui 'kesetaraannya' akan menghasilkan sesuatu yang membahagiakan, yang digambarkan dengan senyuman. Selain itu, dalam Islam dijelaskan bahwa ketiga Rasul ditanya siapa yang pantas dihormati, Beliau mengatakan Ibu sebanyak tiga kali. Ibu = wanita, yang dihargai karena peranannya.

Dan semangat feminisme, yang didenggung-kan sebagai salah satu kampanye menyetarakan kedudukan wanita dengan pria sepertinya kok tidak relevan jika diturut-turut serba serbinya. Malah, bukannya malah (lagi) gak enak ya kalo setara: bahwa wanita harus kerja keras, ikut ronda, gak papa tidur diluar, dll. Mungkin ada yang bilang bahwa kesetaraan yang dimaksud adalah ketersediaan pendidikan, kesehatan atau pekerjaan dengan pria. Bukankah para wanita itu sudah mendapatkannya?

Yang sekali lagi menggelitik si calon writer adalah.. kesetaraan yang diperjuangkan adalah pelampiasan ego yang terpendam dari si wanita. Coba sekarang ditanya, dengan segala sesuatu yang sudah didapatkan sekarang, maukah kalian sebagai wanita, 'berkorban' seperti pria? Seharusnya ketika belanja gak perlu tuh minta tolong dibawain karena mereka kan 'setara'. Piye?
Terus, ketika ada sesuatu.. misalnya apaaa gitu seharusnya mereka gak perlu bilang..'Udaah, kamu dulu aja. Kamu kan cowok' karena mereka kan 'setara'..

Lalu apa hubungan Jilboobs sama feminisme? Analisa si calon writer: bahwa dengan mengatasnamakan kebebasan dari kesetaraan yang 'didapatkan' si wanita Jilboobs berasumsi bebas berekspresi cross culture, cross apa saja, karena mereka bebas, karena mereka setara dan tidak ada yang berhak mengatur: siapa kamu?

Si calon writer menggaris bawahi lagi bahwa: sebenarnya tanpa diperjuangkan pun posisi wanita dan pria itu adalah setara, tentu saja dengan koridor-koridor masing-masing. Dan yang terpenting, fenomena Jilboobs tentu tidak perlu ada jika wanita berbesar hati untuk 'semacam menerima' keadaan yang memantaskan mereka..berbesar hati bahwa fungsi utama jilbab bukanlah fashion semata..berbesar hati bahwa pembatasan-pembatasan yang 'dialamatkan kepada pria' adalah salah satu ekspresi kasih sayang mereka. Ketika sejatinya pria sangat menghargai dan memuliakan wanita, mengapa justeru si wanita 'merendahkan' dirinya sendiri dengan ber-jilboobs?

_shiro
kg. 10/08/14
22.24

Friday, August 1, 2014

Ya,

lalu, ketika matari tak bergeming,
menyinar surya, menepi, mereka cahya bumi
adakah cara untuk menahan hari
:menahanmu pergi?

masih saja terlintas,
kala marun senja mulai bercerita:

adalah dia, yang ketika belantik menyapa, tugur tersenyum
menyibak sekelokan lengang jalan
mencipta,
segelintir memori tiada terlupa

tawa dan canda,
ah aku masih saja teringat kala senyumnya menatap biru samudra
setahun lalu
kala segerimisan menahan untuk berlalu..

senja mulai berganti,
ranum memudar, tergores temaram yang mulai menepi

terlihat disekitar,
lalu lalang kuda besi memecah sunyi
mengacau sekilat sabit yang mengintip dibalik dahan
yang membayang seteduh parasmu..

kini,
diantara belatik yang sepoi menyapa,
kilatan sabit masih mereka
:tentang memori, canda dan tawa yang tiada terlupa

dan semoga,
akan ada hari yang akan membawamu memecah sunyi disini,
kembali

kotagede
02 Agustus 2014
10.46 am

Saturday, July 26, 2014

kembali

Senja,
kala matari tak lagi sidi
ranum tersenyum,
membentang segarisan marun penuh arti

sebulir memori

cahya senja masih saja membumi,
menahan temaram yang perlahan merasuk
menyeka tepi,

mereka asa
merangkai sekelumit cerita tentang si putih

kembang matari

yang kan selalu terkembang
meski matari tak lagi sidi

lalu,
dalam senja yang terbaur lengkis temaram,
sepintas sabda Alam irih terdengar
: bahwa senja adalah dewa,
dan dalam senja ayu kelopak putih matari tercipta

dan kini,
diantara cahya senja lembayung setangkaian kembang matari,
sekelumit ceritera langit marun kan menemani,
menjaga setiap langkah kecil yang kan membawamu
kembali

Kotagede
25 Juli 2014
17.14

Tuesday, July 15, 2014

BAYANG

Lagi,
segerimisan hujan membumi pagi ini
membasuh,
lembarlembar mimpi sekelibat memori

Petrichor yang tercium
diantara berhampar lapang sunyi
menyebar rona melati bak parasmu,
dewi

Lalu,
diantara segerimisan yang terus membasahi
rona harum melati
ayu parasmu tergambar,
tersenyum ayu dalam seputihan awang,

bayang

Ngaglik,
15 Juli 2014
05.43

Friday, June 27, 2014

MALAM, SEMARANG

..diantara lalu lalang yang asing terasa,
tugur menerka malam simpang lima

ah, entah
tetap saja tak hilang resah
tentang dirinya
:si paras ayu memerah

lalu malam semakin beranjak, kuasa
menebar jalajala dalam bumi yang temaram

padamu, wanitaku

selalu teringat,
tutur kata mu yang mewarna,
membiru kalbu dalam malam pekat
terjaga, tiada karam

dan kini, diantara lalu lalang bising dan langit temaram,
disaung seberang bayangmu tercipta,
seperti mimpi

:wanitaku,
entah berapalama aku disini,
memandang bayangmu, tak sabar menanti
hari berganti

Semarang
edited 27 Juni 2014

#SHIRO_03

"Selamat pagi, cinta", si Bambang membisik di telinga kiri Eni. Karuan saja Eni cengar-cengir mendengar celotehan suaminya. Lha wong masih pagi loh, ndang nggombal
Tapi Eni tak langsung terjatuh dalam rengkuhan gombalan si Bambang, Dia hafal suaminya itu ada maunya ketika sok-sok an jadi romantis. Ya walaupun tahu sih, Bambang memang romantis. Sepuluhan tahun mereka menikah, ada-ada saja cara si Bambang menyenangkan isterinya. Buktinya, seminggu kemarin pas Bambang tembus arisan Bapak-bapak RT, si Eni dibeliin selusin tipe-x berbagai merek. Eni sih protes kok ya wes tuo dolanan tipe-x? Bambang cuma terkekeh tak berdosa. 
"Bune, kenapa to? lak ora ngeri kan alesanku dadi kowe nesu terus meneng wae? Kamu tahu, aku mengenalmu pertama kali pas kuliah dulu. Ya, memang sih kita beda kelas waktu itu. Tapi saya nduwe intelejen yang tak tugasin memperhatikan mu", kata si Bambang yang cuma agak ngarang. "dan tipe-x ini adalah benda berharga yang pertama, yang si dosen waktu itu menyebutmu gadis pembawa tipe-x gara-gara pas ujian kowe ki ni-pak ni-pek wae. Lah ibuk ki sinau mboten toh?"
Eni akhirnya tersenyum. Rona merah sedikitsedikit mewarnai pipinya. 

"Sinau lah. Tapi moco primbon. Nyari wangsit", Eni nyengir.

"Terus Bune, kenapa harus mempermasalahkan pemberian? Bukankah yang terpenting adalah makna dari suatu pemberian bukan bentuk pemberian itu?
tiktoktiktok

***

Bambang sudah saja nongkrong di bungalo belakang rumahnya. Mengamati sedih mujair-mujairnya yang agak besarbesar. Dia tidak membayangkan bagaimana minggu depan mujair itu bakal jadi the main course acara bakarbakar isterinya. 

Sementara si Eni sibuk nyapu sekitaran kolam kecil itu. Nampak hujan yang turun semalam membikin daun-daun nangka pada berguguran. Tapi, hujan semalam juga membikin Eni tersenyum: Mawar putih yang sekuntumkuntum mulai kembang. Mawar putih adalah bunga kesukaan Eni yang sering dipajang disampingsamping fotonya.

"Bu, ndene dilit", kata Bambang tibatiba.

Eni mendekati suaminya dan duduk di bungalo kecil itu. "Pripun Pak?", kata Eni.
"Kamu ingat gak hari ini?"
"Jum'at. Hari pertama tarawih versi Muhammadiyah"
"Walaaah malah ngopo. Mbok rasah nggowo kaum. Wong perbedaan kui rahmat"
"Hehe. Iyaaaa. Hla terus apa, Pak?"
"Hari ini adalah hari dimana saya..isin e aku..dimana bungabunga cinta dalam hatiku mulai berkembang"

Bambang membenarkan posisi kerahnya, bersiap ber-senandika
:Hari itu adalah hari pertama kali sejak beberapa hari kita tidak bertemu..lebih tepatnya saya tidak melihatmu. Yah, namanya juga pengagum rahasia waktu itu.. 
Dan mungkin atau bahkan kamu, dek Eni, tidak tahu dan menyadari bahwa aku mengagumimu. Tak apalah nyesek dulu.. bukankah cara menghibur dirinya juga seperti itu?

Dan akhirnya kita bisa bertemu dengan tidak sengaja. Sebenarnya saya hampir pulang waktu itu dari kampus. Lha wong wes mumet gara-gara guuuarapan e akeh. Tapi kok rasanya pengen mampir dan akhirnya ya saya mampir. Eh pucuk dicinta dan kamu ku cinta..eh maksudnya pucuk dicinta ulam pun tiba. 

"Stop. Harap gombalnya pake puisi ya. Yang berkelas", Eni melet, cengengesan.
"Emang gue takut"

ehmm

sekian lama,
senja yang tercipta nampak pudar warna
tak ada siluet tentang cerita
akan paras manismu, yang mewarna

dan aku disini, 
duduk berdiam diri memandang sepi
menyeka segenap kerinduan berduriduri,
dengan rangkai kisah,
yang ku buat sendiri..

Ah,
Tuhan..

harap dan rasa seakan sama
ber-drama dan bersandiwara

lalu, aku bermimpi
kau yang ku cinta ada disini
berparas ayu dengan tudung abuabu
tersenyum,
yang merahnya membiru kalbu

dek Eni,
dan akhirnya aku memandangmu

ketika cahaya membuka kelambu
ketika rindu dihati semakin memburu
dan, mimpiku seakan nyata

: ditempat itu kau nampak ayu,
dengan tudung-mu,
abuabu

CIIIEEEEEEEE
"Guuuombalmu pak..  Itu kan udah lama banget. Bahkan sebelum njenengan menyatakan cinta padaku. Lama pak. Sebelum akhirnya kamu lulus mendahuluiku kan?
Oh, aku ngerti kenopo njenengan ngebet lulus. Oalahhh... jebule bojo-ku iki penuh dengan perhitungan.

Tapi kok njenengan kelingan je?"

"Lah, kowe loh bune. Ketika cinta, mana mungkin sih bisa lupa?"

"Uwes ah. Kebablasen gombal terus. Eh, Pak, mawar e apik yo? Udah mulai kembang." 

"Hemm"

"Kok hemm tok?"

"Hemm.. 
Kok-pi ne endi?"


Kotagede
27 Juni 2014
08.41 pm